Perbedaan Kata Like Dan Love
Dalam bahasa
Inggris, kata "to like" berarti menyukai sedangkan kata "to
love" berarti mengasihi. Sekarang apa perbedaan mendasar antara dua kata
ini dalam hal memilih pasangan hidup? Menurut saya, menyukai mengacu pada
kesenangan pribadi yakni menginginkan seseorang karena ia baik untuk kita dan
menyenangkan hati kita. Sebaliknya, mengasihi merujuk kepada memberikan diri
untuk seseorang.
Cara lain
untuk membedakannya ialah, menyukai hanya meminta kita menjadi pengamat,
sedangkan mengasihi mengharuskan kita menjadi pelaku. Misalnya, kita menyukai
mainan, kendaraan, dan rumah, tetapi kita mengasihi adik, orangtua serta istri
kita. Mainan dan kendaraan bertujuan untuk menyenangkan atau memudahkan
kehidupan kita tanpa kita harus terlibat di dalamnya (menjadi bagian dari
mainan atau mobil itu). Mengasihi keluarga menuntut kita untuk terlibat di
dalamnya (menjadi bagian dari kehidupan mereka); dengan kata lain, kita mesti
menjadi pelaku, bukan sekedar pengamat yang mencicipi kenikmatan objek
tersebut.
Adakalanya
kita dibingungkan dengan kata "suka" dengan "cinta". Tidak
bisa disangkal, pada tahap awal pertemuan, rasa suka akan mendominasi hubungan kasih
kita. Kita menyukai wajahnya, cara bicaranya, tertawa renyahnya, kelembutannya,
kepemimpinannya, atau wibawanya. Namun seyogianya rasa suka ini bertumbuh
menjadi rasa cinta yakni kerelaan untuk memberi yang terbaik dari diri kita
demi yang terbaik untuknya. Jika metamorfosis ini tidak terjadi, maka kita pun
akan terlibat dalam suatu relasi yang kerdil dan dangkal. Kita akan berhenti
pada peran pengamat yang hanya menikmati tontonannya dengan penuh kekaguman.
Yang lebih berbahaya lagi, kita akan menuntutnya untuk bersikap dan melakukan
hal-hal yang dapat terus melestarikan kenikmatan dan kekaguman kita
terhadapnya.
Berbeda
dengan suka, kasih masih menyisakan benih-benih kekaguman tanpa membuat kita
terpukau kaku dan pasif. Kasih melibatkan kita dalam hidupnya sebagai pelaku
yang rela mengotorkan tangan, bukan sekedar sebagai penonton yang disenangkan
oleh pertunjukkan yang indah.
Kasih
bertanya, "Apa yang dapat kuberikan?", sedangkan suka bertanya,
"Apa yang dapat kau berikan?". Saya kira istilah C.S. Lewis,
"need-love", mencerminkan definisi menyukai yang telah saya jabarkan.
Menurut Lewis, "need-love" merupakan kasih yang keluar dari kebutuhan
dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan itu. Dengan kata lain, kita
memilihnya menjadi istri atau suami karena ia akan dapat memberikan yang kita
butuhkan. C.S. Lewis tetap menyebutnya, kasih, tetapi saya cenderung
memanggilnya, suka.
Sekali lagi
saya tegaskan bahwa suka pada dasarnya sesuatu yang alamiah dan bersifat
netral. Rasa suka merupakan bagian awal dari rangkaian pertumbuhan relasi di
mana pada puncaknya, kasihlah yang mencuat dengan indahnya. Problem muncul
tatkala benih suka tetap tinggal sebagai biji suka dan tidak pernah bertumbuh
menjadi pohon kasih. Hubungan yang seperti ini akan ditandai dengan dua nada:
frustasi dan kejam.
Kita merasa
frustasi karena kita mengalami delusi sebab ternyata yang kita harapkan tidak
menjadi kenyataan. Kita terbangun dari mimpi dan melihat rupa pasangan kita
yang sebenarnya -- ternyata dia bukan pangeran yang mengherankan kita. Dia
tidak memberikan yang kita butuhkan bahkan kitalah yang harus mengisi
kebutuhannya.
Kita juga
bisa berubah kejam. Kita dapat terus menghujamnya dengan tuntutan demi tuntutan
secara bertubi-tubi dan membabi buta. Kita tidak mau tahu akan realitas sebab
kita merasa terpedaya dan terperangkap. Kita menganggap bahwa ia berhutang
pemberian kepada kita. Kita menjadi kejam karena ternyata tontonan itu tidak
menarik sama sekali. Rasa suka pun berubah menjadi benci.
Kembali
kepada konsep "need-love" yang diutarakan C.S. Lewis, ternyata
hubungan kasih memang sarat dengan kebutuhan, misalnya kebutuhan untuk
dikasihi, dihargai, dan keamanan. Ternyata pemilihan pasangan hidup juga tidak
terlepas dari penentuan akan siapa yang kira-kira dapat memenuhi kebutuhan kita
itu. Kita tidak memilih siapa saja; kita memilih dia yang berpotensi atau yang
kita duga akan sanggup mencukupi kebutuhan kita. Selama kebutuhan itu tidak
terlalu besar, biasanya hubungan nikah akan dapat berjalan langgeng. Namun jika
kebutuhan itu terlalu menggunung, konflik pasti akan meletus.
Kesimpulannya
adalah, sadarilah kebutuhan yang kita miliki itu dan akuilah harapan yang
terkandung di dalam hati kita. Komunikasikanlah harapan itu kepada pasangan
kita dan carilah jalan tengah agar kebutuhan itu dapat dipenuhinya tanpa harus
terlalu melelahkannya. Semakin dini kita menyadari dan mengkomunikasikannya,
semakin besar kemungkinan kita menyelamatkan hubungan kita kelak.
Penulis
Artikel:
Pdt. Dr.
Paul Gunadi, Ph.D.
Penerbit:
STTRII
untuk remaja dan dewasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda...
Agar dapat turut membangun Majalah Remaja ini
bagi yang tidak memilik acount dapat berkomentar sebagai anonymous...
Terimakasih
god bless...